Schystosoma japonicum |
Mendengar nama cacing darah, mungkin
Anda akan bergidik ngeri. Apakah memang ada cacing yang hidup di dalam
darah? Jawabannya iya, ada. Tapi jangan sesumbar dulu sebab dalam
keseharian, kita sering sekali mendengar istilah cacing darah ini
terlebih bagi mereka yang hobi memelihara ikan. Sebenarnya, yang
sebenarnya dimaksud cacing darah adalah si Schystosoma japonicum.
Sementara yang dikenal oleh para pemelihara dan pemancing ikan dengan
nama cacing darah adalah larva Chironomus sp. Apa perbedaan kedua
‘cacing darah’ ini? Silahkan simak uraian berukut ini.
Schystosoma Japonicum
Dari kajian ilmiah, yang berhak menyandang nama cacing darah adalah si Schystosoma Japonicum. Ia masuk ke dalam kelompok cacing pipih dan tergolong sebagai cacing parasit yang menumpang hidup pada inangnya. Cacing ini banyak dijumpai di wilayah Sulawesi dan mampu hidup dalam pembuluh vena babi, anjing, binatang pengerat, kucing, sapi bahkan manusia.
Berikut klasifikasi ilmiah si cacing darah:
Daur hidup si cacing darah ini kurang lebih sama dengan si cacing hati. Telur yang mereka hasilkan berjumlah melimpah karenanya akan keluar bersama dengan kotoran. Selanjutnya, cacing pada kotoran tersebut akan menetas di dalam air. Oleh sebab itu, anjuran untuk meminum air yang telah direbus hingga matang salah satu tujuannya agar bebas dari serangan si cacing darah ini.
Di dalam darah, si cacing ini bisa memperbaiki dirinya serta memelihara jaringan tubuh. Mereka juga bisa membuat rumah sendiri dan memiliki pasangan monogami. Betina si cacing darah ini bisa bertelur terus menerus dan jumlahnya bisa sampai ratusan per harinya. Terinfeksi cacing ini akan menyebabkan penyakit serius. Bahkan, ia dinobatkan sebagao pembunuh kedua setelah Malaria utamanya di kawasan Afrika dan Asia. Jika seseorang diserang cacing ini maka perlahan ia akan mengalami penyakit kronis semacam kerusakan hati, limpa, ginjal, kelainan jantung dan kantung kemih. Adapun pada anak-anak, si cacing darah ini bisa mempengaruhi laju pertumbuhannya.
Larva Chironomus sp
Isitlah ‘cacing darah’ sudah lama melekat pada si larva chironomus sp. Pemberian nama ‘cacing’ ini sebenarnya keliru sebab ia bukan tergolong hewan cacing. Ia sebenanrnya masuk kelompok serangga sebab ia merupakan kerabat nyamuk. Nama ‘cacing’ tersebut melekat boleh jadi karena sekilas tampilannya memang mirip cacing. Sedangkan ‘darah’ ikut terbawa sebab warnanya memang merah seperti darah. Si cacing darah atau yang juga dikenal dengan nama bloodworm ini merupakan larva dari Chironomus. Binatang ini memang memiliki empat tahapan hidup yakni telur, larva, kepompong dan dewasa.
Cacing darah versi peternak ikan ini memiliki habitat di air. Ia mudah sekali ditemukan di wilayah litoral juga profundal. Namun, tidak sama seperti nyamuk kebanyakan, larva si chironomus ini justru hidup di dasar substract dan kemudian membentuk tabung pada substract tersebut dan dijadikan tempat tinggal. Selain dimanfaatkan sebagai pakan ternak ikan, si larva ini juga berfungsi sebagai pengurai bahan organik yang terdapat di dasar perairan.
Schystosoma Japonicum
Dari kajian ilmiah, yang berhak menyandang nama cacing darah adalah si Schystosoma Japonicum. Ia masuk ke dalam kelompok cacing pipih dan tergolong sebagai cacing parasit yang menumpang hidup pada inangnya. Cacing ini banyak dijumpai di wilayah Sulawesi dan mampu hidup dalam pembuluh vena babi, anjing, binatang pengerat, kucing, sapi bahkan manusia.
Berikut klasifikasi ilmiah si cacing darah:
- Kerajaan: Animalia
- Filum: Platyhelminthes
- Kelas: Trematoda
- Upakelas: Digenea
- Ordo: Strigeidida
- Genus: Schistosoma
- Spesies: Schistosoma japonicum
Daur hidup si cacing darah ini kurang lebih sama dengan si cacing hati. Telur yang mereka hasilkan berjumlah melimpah karenanya akan keluar bersama dengan kotoran. Selanjutnya, cacing pada kotoran tersebut akan menetas di dalam air. Oleh sebab itu, anjuran untuk meminum air yang telah direbus hingga matang salah satu tujuannya agar bebas dari serangan si cacing darah ini.
Di dalam darah, si cacing ini bisa memperbaiki dirinya serta memelihara jaringan tubuh. Mereka juga bisa membuat rumah sendiri dan memiliki pasangan monogami. Betina si cacing darah ini bisa bertelur terus menerus dan jumlahnya bisa sampai ratusan per harinya. Terinfeksi cacing ini akan menyebabkan penyakit serius. Bahkan, ia dinobatkan sebagao pembunuh kedua setelah Malaria utamanya di kawasan Afrika dan Asia. Jika seseorang diserang cacing ini maka perlahan ia akan mengalami penyakit kronis semacam kerusakan hati, limpa, ginjal, kelainan jantung dan kantung kemih. Adapun pada anak-anak, si cacing darah ini bisa mempengaruhi laju pertumbuhannya.
Larva Chironomus sp
Isitlah ‘cacing darah’ sudah lama melekat pada si larva chironomus sp. Pemberian nama ‘cacing’ ini sebenarnya keliru sebab ia bukan tergolong hewan cacing. Ia sebenanrnya masuk kelompok serangga sebab ia merupakan kerabat nyamuk. Nama ‘cacing’ tersebut melekat boleh jadi karena sekilas tampilannya memang mirip cacing. Sedangkan ‘darah’ ikut terbawa sebab warnanya memang merah seperti darah. Si cacing darah atau yang juga dikenal dengan nama bloodworm ini merupakan larva dari Chironomus. Binatang ini memang memiliki empat tahapan hidup yakni telur, larva, kepompong dan dewasa.
Cacing darah versi peternak ikan ini memiliki habitat di air. Ia mudah sekali ditemukan di wilayah litoral juga profundal. Namun, tidak sama seperti nyamuk kebanyakan, larva si chironomus ini justru hidup di dasar substract dan kemudian membentuk tabung pada substract tersebut dan dijadikan tempat tinggal. Selain dimanfaatkan sebagai pakan ternak ikan, si larva ini juga berfungsi sebagai pengurai bahan organik yang terdapat di dasar perairan.